Gunung Krakatau, atau Krakatoa dalam bahasa Barat, adalah salah satu gunung berapi yang paling terkenal dan paling mematikan di dunia. Terletak di Selat Sunda, antara pulau Sumatra dan Jawa, Indonesia, Krakatau memiliki sejarah letusan yang sangat besar dan dramatis, yang tidak hanya mengubah wajah geografis wilayah tersebut, tetapi juga mempengaruhi iklim global dan kehidupan manusia pada abad ke-19.
Gunung Krakatau adalah bagian dari sistem gunung berapi yang terbentuk di Cincin Api Pasifik, yang terkenal dengan aktivitas vulkaniknya yang intens. Secara spesifik, Krakatau terletak di antara pulau Sumatra dan Jawa, di Selat Sunda yang memisahkan kedua pulau besar ini. Gunung Krakatau terdiri dari beberapa gunung berapi kecil, dengan yang paling terkenal adalah Krakatau Lama dan Krakatau Baru yang terbentuk setelah letusan besar 1883.
Krakatau adalah gunung berapi stratovolcano, yang berarti gunung ini terdiri dari lapisan lava dan material vulkanik lainnya yang terbentuk dari letusan berturut-turut. Letusan ini menciptakan danau kawah besar, yang kemudian menghasilkan pembentukan Krakatau Baru, sebuah pulau vulkanik yang muncul di tengah Selat Sunda.
Letusan Krakatau pada tahun 1883 adalah salah satu letusan paling dahsyat yang tercatat dalam sejarah. Letusan tersebut tidak hanya menghancurkan sebagian besar gunung Krakatau, tetapi juga menelan ribuan nyawa dan mengubah lanskap pulau-pulau di sekitarnya. Letusan ini dimulai pada 20 Mei 1883 dengan serangkaian gempa vulkanik yang semakin intens hingga mencapai puncaknya pada 27 Agustus 1883.
Pada hari tersebut, letusan Krakatau menghasilkan gelombang kejut yang dapat didengar hingga 3.000 km dari lokasi letusan. Ledakan dahsyat ini menyebabkan tsunami besar yang menghantam pesisir Sumatra dan Jawa, menewaskan lebih dari 36.000 orang dan menyebabkan kerusakan besar-besaran pada permukiman dan infrastruktur.
Namun, dampak letusan ini tidak hanya terbatas pada kerusakan lokal. Letusan Krakatau juga menghasilkan awan abu vulkanik yang tinggi hingga mencapai 40 km di atmosfer, menghalangi cahaya matahari dan mempengaruhi iklim global. Dampaknya menyebabkan penurunan suhu dunia dan menyebabkan fenomena yang dikenal dengan nama "tahun tanpa musim panas", yang mengarah pada kekeringan, kelaparan, dan cuaca yang tidak biasa di berbagai belahan dunia.
Letusan Krakatau pada 1883 memiliki dampak yang luar biasa terhadap lingkungan. Tidak hanya menewaskan ribuan orang, tetapi juga mengubah ekosistem lokal. Tsunami yang dihasilkan oleh letusan menyebabkan kerusakan di banyak pesisir dan menenggelamkan pulau-pulau di sekitar Selat Sunda. Laut sekitar Krakatau juga tercemar dengan material vulkanik yang mengubah habitat laut.
Sementara itu, efek jangka panjang terhadap iklim global juga sangat terasa. Suhu global turun drastis, dengan sejumlah laporan mengindikasikan bahwa suhu dunia menurun hingga 1,2 derajat Celsius selama beberapa tahun setelah letusan. Ini menyebabkan musim dingin yang lebih panjang dan lebih dingin di beberapa bagian dunia, serta gangguan pertanian yang meluas.
Setelah letusan dahsyat 1883, Krakatau hampir hancur total, tetapi aktivitas vulkanik terus berlanjut di area yang sama. Pada tahun 1927, muncul sebuah pulau baru di tengah kawah yang tersisa, yang dikenal sebagai Anak Krakatau (Anak berarti "anak" dalam bahasa Indonesia). Anak Krakatau mulai berkembang dan tumbuh lebih besar, dengan letusan-letusan kecil yang terus terjadi.
Anak Krakatau terus aktif hingga hari ini, dan sejak saat itu telah mengalami beberapa letusan yang lebih kecil, namun tetap menarik perhatian ilmuwan dan wisatawan. Meskipun lebih kecil dibandingkan Krakatau lama, Anak Krakatau tetap menunjukkan sifat vulkanik yang sangat aktif.
Sejak letusan besar 1883, Gunung Krakatau dan Anak Krakatau telah menjadi objek pemantauan vulkanologi yang intensif. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di Indonesia secara rutin memantau aktivitas vulkanik di Krakatau, terutama setelah letusan-letusan kecil yang terjadi di Anak Krakatau. Pemantauan dilakukan menggunakan teknologi modern, seperti sensor seismik, penginderaan jauh, dan satelit, untuk mendeteksi pergerakan magma dan potensi erupsi yang dapat membahayakan penduduk di sekitar Selat Sunda.
Krakatau dan Anak Krakatau juga menjadi perhatian utama dalam mitigasi bencana. Penduduk yang tinggal di sepanjang pantai Selat Sunda dan pulau-pulau sekitar Krakatau telah dilatih untuk mengenali tanda-tanda peringatan letusan dan tsunami. Sistem peringatan dini tsunami juga dikembangkan untuk mengurangi dampak bencana alam yang mungkin terjadi.
Gunung Krakatau, terutama Anak Krakatau, menarik banyak wisatawan dan ilmuwan. Banyak pendaki dan turis yang mengunjungi Pulau Anak Krakatau untuk melihat aktivitas vulkanik secara langsung. Pulau ini menjadi tujuan wisata yang populer bagi mereka yang tertarik dengan geologi, alam, dan fenomena vulkanik. Selain itu, beberapa kapal pesiar juga menawarkan tur untuk melihat kawah dan lereng gunung yang aktif.
Bagi para ilmuwan, Krakatau tetap menjadi laboratorium alami yang sangat berharga untuk mempelajari proses vulkanik, formasi tanah, dan dampak letusan besar terhadap ekosistem. Anak Krakatau, yang terus berkembang, menjadi objek penelitian tentang bagaimana kehidupan baru dapat kembali berkembang di tanah yang dulunya dilanda letusan dahsyat.
Gunung Krakatau adalah salah satu gunung berapi yang paling terkenal dan paling mematikan di dunia, dengan sejarah letusan yang mengubah tidak hanya lanskap geografi Indonesia, tetapi juga mempengaruhi iklim global dan kehidupan manusia pada abad ke-19. Letusan besar pada tahun 1883 meninggalkan jejak sejarah yang mendalam dan dampak yang masih terasa hingga saat ini.
Sebagai simbol kekuatan alam yang luar biasa, Krakatau juga mengajarkan kita tentang bahaya vulkanik dan pentingnya pemantauan serta mitigasi bencana. Gunung ini tetap menjadi tempat penelitian geologi yang penting dan daya tarik wisata yang menarik, di mana manusia terus belajar dari kekuatan alam yang tak terduga dan mendalam.